Tuesday, September 25, 2012

Mengapa Sulit Mendapatkan Sarjana Komputer

Beberapa teman dari perusahaan yang membutuhkan sarjana komputer curhat ke saya, di era internet dan open source ini masih sulit mendapatkan karyawan baru yang punya ilmu dasar komputer dan skill yang sesuai kebutuhannya. Misal sarjana komputer (D3/S1) yang faham konsep pemrograman dan networking, plus terampil menggunakan Linux dan membuat program php atau java dengan database mysql. Saya rasa ini masalah klasik atau sudah lama terjadi, tapi mengapa masih belum banyak solusi, ya?

Ketika masalah itu saya bawa ke beberapa teman di perguruan tinggi yang mengelola program studi TI, SI, IL, MI, komentarnya beragam. Ada yang komentar, perguruan tinggi tidak wajib memberikan keterampilan tapi cukup memberi pemahaman atau konsep. Ada lagi yang komentar, perguruan tinggi sudah memberikan skill, tapi tidak dengan produk terbaru karena perubahan yang cepat tidak mampu diikuti para dosennya, misal Linux, PHP, Java, dan MySQL. Lalu ketika saya bawa kembali jawaban itu ke teman yang butuh karyawan, dia/mereka bilang terlalu mahal bagi perusahaan kalau harus memberikan training kepada karyawan baru sebelum diberi tugas di bidang networking dan pemrograman atau pengembangan sistem informasi perusahaan.

Apa akibat dari masalah ini? Bukan berdasar survey tapi info dari teman di pemerintah, pengangguran lulusan komputer masih tinggi, tapi lowongan tenaga ahli TIK tetap tidak mudah terisi. Solusinya, harus ada perguruan tinggi yang berani memadukan konsep dan skill, dengan risiko biaya operasional pendidikan jadi lebih besar dari umumnya perguruan tinggi lain, misal dengan selalu memberikan update ilmu/skill TIK yang cepat berubah ini. Contoh perguruan tinggi komputer yang sejak semester pertama hingga lulus memberikan skill Linux/Open Source selain konsep-konsep dasar itu adalah STT Terpadu Nurul Fikri.

10 comments:

Anonymous said...

Permasalahannya, menurut saya, adalah kurikulum yang terlalu baku dan terlalu teoritis yang diterapkan pada (calon) sarjana-sarjana tersebut, sehingga selain jadi terlihat kikuk saat terjun ke dunia yang dipelajarinya, bagi para calon sarjana yang akan menuntut ilmu pun jadi mengkeret duluan melihat segala silabus yang seolah hendak 24 jam akan mereka geluti serupa ilmu statistik.

Adalah sebuah hal yang aneh kalau kemudian justru yang banyak (tentu saja ini subjektif dan boleh disebut hiperbola) berkecimpung dalam dunia komputer, pemrograman, jaringan, justru bukan lulusan dari ilmu komputer melainkan mereka yang menggeluti karena hobi/minat atau belajar secara otodidak. Saya bisa katakan ini karena di angkatan saya, angkatan 2000 di MIPA Fisika Universitas Syiah Kuala dulu, lebih banyak yang tertarik/terlibat/belajar otodidak tentang ilmu komputer dibandingkan teman-teman lain yang memang menuntut ilmu di bidang yang sama. Sementara mereka -menurut pengakuan mereka- lebih sistematis dan sesuai kurikulum, yang lain lebih lugas dan dinamis dengan perubahan teknologi informasi (misal: kala yang di kurikulum masih membahas IP versi 4, yang lain sudah melompat ke IP versi 6).

Irfan Setiawan said...

Sebentar lagi saya diwisuda dengan kemampuan mengajar bahasa inggris. Tp di STT Nurul Fikri saya jadi pengen kuliah lagi, karena minat di OSS pak :D

Unknown said...

Berangkat dari permasalahan ini, kami di Provinsi Kepulauan Riau membuat satu website Social Network dan Media Diskusi Online yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat khususnya pemuda dikepri agar bisa bersaing diranah lokal maupun global.

nama websitenya http://dikepri.com

wahyu said...

seharusnya perusahaan yang merekrut tidak terlalu menuntut... karena kemampuan akan terasah pada saat bekerja...

Jabbar Bie said...

saya sangat setuju pendapat agan" diatas.. memang yang saya rasakan saat ini.. materi yang diberikan selalu itu - itu saja.. misal pemrograman pascal.. pascal itu kan mainannya sma.. okelah kalo belajar mengenai permainan logika.. kalo di perguruan tinggi di jawa.. rata" mereke menggunakan c++ / fortran.. untuk kebanyakan mata kuliah yang di ajarkan.. lebih banyak ke mnurut saya pribadi materi terebut malah membuat saya terpaku akan aturan tersebut memang bagi sebagian dosen memberikan pengertian akan materi yang di berikan.. semuanya harus mengacu pada kondisi yang ada,,

da yang saya sangat sesali... program kelompok belajar tidak aktif.. bahkan di tiadakan.. #maaf jadi curhat

Anonymous said...

saya mahasiswa bidang it sem 1. Kalo di sini, masalah yg dihadapi adalah dosen2nya gak pada update dan gak know well sama open source.pelajaran pemrograman yang saya dapat adalah vb 6 yg jadul banget, Dosen yg kebagian untuk intro to it bahkan gak tahu unity di ubuntu, dan bahkan ada yang nerangin kalo open office yg punya itu microsoft.

Irwan Dermawan said...

Ada permasalahan mendasar dalam suatu pengajaran sebuah program komputer di sekolah maupun perguruan tinggi, seorang siswa yang belajar mempunyai tujuan akhir, yaitu tes kompetensi, mampukah iya menguasai apa yang telah dia pelajari dan diberikan oleh guru maupun dosennya, terlepas dari apakah program yang dia pelajari dubutuhkan oleh dunia usaha atau pun tidak . Karena tujuan akhirnya adalah tes kompetensi tadi maka mau tidak mau siswa harus mengikuti apa yang guru maupun dosen berikan. Lalu kalau begitu salah guru atau dosen kah ? tidak 100 % menurut saya, contoh dalam kurikulm TIK tingkat SLTP tidak disebutkan program apa yang harus diajarkan untuk Word Processing, karena itu guru bisa saja memberikan OpenOffice Word untuk siswa nya belajar word processing. Tapi....jika tes kompetensi masih terpusat dari daerah nya masing-masing akan kah soal test yang diberikan sesuai dengan program yang telah di ajarkan oleh guru TIK di SLTP yang bersangkutan. Lalu solusi apa yang mungkin bisa kita ambil.....

computer tutorials said...

kasus ini juga menimpa saya yang saat ini mengajar di salah satu SMK di Bontang Kalimantan Timur, di jurusan kami ada pelajaran animasi 3D yang kurikulum mengacu kepada software tertentu yaitu 3D Max yang nota bene adalah komersil, 1 tahun belakangan ini saya beralih ke open source 3D blender, namun masalah kemudian muncul pada saat uji kompentensi dan UAN-SMK produktif yang semua soal tentang 3D menggunakan 3D MAX, akhirnya mau tidak mau saya mengalah dengan mensiasati untuk kelas 3 saya ajarkan 3D Max dengan berat hati, sampai kapan ini terjadi????

fankychristian said...

Intinya, kebutuhan market tidak sesuai dengan akil dasar yang dipersiapkan baik di level SMK ataupun kuliah, memang perlu dipikirkan penyesuaian kurikulum khususnya yang berbasis opensource ..

yusuf ucup said...

Memang benar lulusan sistem informasi belum tentu menguasai semua hal tentang komputerisasi,aplikasi-aplikasi software tentang komputer akan tetapi masih kalah dengan mereka yg belajar scra otodidak krna hoby