Tuesday, July 22, 2025

Menulis Fiksi Dibantu AI

Siapapun yang mampu membuat karya tulisan, misal cerita pendek atau cerita bersambung, tidak perlu lagi pusing dengan penyusunan kalimat dan paragraf. AI Generatif seperti ChatGPT (OpenAI), Gemini (Google), dan Llama (Meta) dapat mengurangi kepusingan penulis. AI tersedia murah dan bahkan gratis. Llama dari Meta itu contoh model AI Generatif yang Open Source.

Namun, penulis tetap perlu memiliki kreativitas, termasuk memahami struktur tulisan atau alur cerita dengan baik. AI hanya alat bantu, dan penulis (manusia) perlu tahu cara meminta bantuan dalam bentuk prompt agar bantuan AI sesuai dengan kebutuhan penulis.

"Talak Tiga" di bawah ini adalah contoh cerpen yang saya tulis dengan dibantu AI. Saya hanya memberi tahu AI tentang tugasnya dan saya berikan tiga kalimat ringkasan cerita. Cerpen ini tidak ditulis berdasarkan pada fakta. Ini murni khayalan saya yang dibantu oleh AI menyusunnya menjadi cerita pendek. :-)

Talak Tiga 

Oleh Rusmanto dan Gemini AI

Bram tak pernah menyangka, tiga kata itu akan mengoyak seisi dunianya: “Anda di-PHK.” Ucapannya terasa seperti pukulan telak di ulu hati, menggantikan detak jantungnya dengan kosong. Lima belas tahun, ia telah mengabdikan diri pada perusahaan itu, bekerja keras, pulang malam, demi selembar slip gaji yang memastikan dapur tetap mengepul dan senyum Raihan, putra semata wayangnya, tak pernah pudar. Kini, semuanya lenyap, secepat embun dihempas mentari.

Ia pulang ke rumah, langkahnya gontai, seperti menanggung beban seribu ton. Di sana, Sari menunggunya, senyum tipis di bibirnya yang biasa menyambut hangat kini terasa asing. 

“Bagaimana, Mas?” pertanyaan itu menggantung di udara, seperti pisau yang siap menghunjam.

Bram tak sanggup berucap. Ia hanya menyerahkan amplop coklat berisi surat putus hubungan kerja. Sari membacanya, ekspresinya berubah. Bukan amarah, bukan kesedihan, hanya sebuah kekosongan yang dingin. 

"Jadi... kita bagaimana sekarang, Mas?" suaranya datar, tanpa emosi.

Hari-hari berikutnya adalah neraka. Bram menyibukkan diri mencari pekerjaan, mengetuk setiap pintu lowongan, mengirim ratusan lamaran. Namun, dinding penolakan selalu membentangnya. Usianya yang sudah kepala empat dianggap terlalu tua, pengalamannya yang spesifik tak lagi relevan di pasar kerja yang berubah cepat. 

Sementara itu, di rumah, dinding tak kasat mata tumbuh di antara Bram dan Sari. Percakapan mereka hanya seputar tagihan yang menumpuk, persediaan makanan yang menipis, dan masa depan yang suram.

Suatu malam, setelah Raihan tertidur lelap, Sari duduk di hadapan Bram, raut wajahnya mengeras. 

"Aku tidak bisa hidup seperti ini, Mas." Suaranya bergetar, tapi bukan karena kesedihan, melainkan tekad yang mengeras. 

"Aku butuh kepastian. Aku butuh ketenangan. Aku butuh jaminan bahwa besok lusa, anakku masih bisa makan dan sekolah."

Bram menatapnya, hatinya hancur berkeping-keping.

"Sari... aku janji. Aku akan cari kerja apa saja. Aku tidak akan menyerah."

"Cukup, Mas!" Sari membanting tangannya ke meja. 

"Aku lelah menunggu. Aku lelah ketakutan setiap kali lonceng pintu berbunyi, takut itu penagih utang. Aku lelah melihatmu seperti ini, tanpa semangat." 

Matanya berkaca-kaca, namun tidak ada air mata yang jatuh. 

"Aku mau cerai, Mas."

Kata-kata itu menghantam Bram lebih keras dari PHK itu sendiri. Cerai? Setelah semua yang mereka lalui? Setelah ia mengorbankan segalanya untuk keluarga ini? 

Ia merasakan rohnya tercabut dari raga. Pria yang selama ini bangga menjadi sandaran keluarganya, kini terlempar, dianggap tak berguna. Ia mencengkeram kepalanya, meraup rambutnya, berusaha menahan suara tangis yang menguras paru-parunya.

Proses perceraian berlangsung cepat, dingin, dan menyakitkan. Bram kehilangan segalanya: pekerjaannya, istrinya, dan yang paling menyayat hati, ia juga harus kehilangan hak asuh Raihan. Anak itu, yang tak mengerti apa-apa, hanya memandangnya dengan mata polos saat Bram menggendongnya dan mencium pipinya untuk terakhir kali di rumah yang bukan lagi miliknya. 

"Papa jangan sedih," bisik Raihan, mengusap pipi basah Bram dengan tangan mungilnya. Kata-kata itu, alih-alih menghibur, justru menusuk lebih dalam.

Rumah kontrakan yang ia tempati setelah perceraian terasa hampa. Dinding-dindingnya berteriak sunyi. Tak ada lagi tawa Raihan yang riang, tak ada lagi aroma masakan Sari yang sederhana namun menenangkan. Hanya ada debu dan keheningan yang menyesakkan dada. 

Bram sering duduk di pojok ruangan, menatap foto Raihan di ponselnya, air mata mengalir begitu saja, membasahi pipinya yang kini tirus. Ia merindukan pelukan kecil itu, cerita-cerita anak-anak itu, bahkan rengekan minta dibelikan mainan baru. Semua terasa seperti kenangan dari kehidupan lain, kehidupan yang terlalu mewah untuknya sekarang.

Ia mencoba bertahan hidup. Pekerjaan serabutan ia lakoni. Pernah, ia menjadi tukang cuci piring di warung makan kecil, tangannya kapalan, punggungnya pegal. Ia juga pernah menjadi kuli panggul di pasar, memanggul karung beras yang beratnya jauh melebihi bobot tubuhnya. Harga dirinya terkoyak, namun perutnya harus terisi. Malamnya, ia sering meringkuk di kasur tipisnya, merasakan sakit di seluruh tubuh, bukan hanya fisik, tetapi juga batin. 

Ia merindukan Sari, bukan lagi sebagai istri, tetapi sebagai saksi hidupnya, sebagai wanita yang pernah berbagi suka dan duka dengannya. Ia menyesal, betapa mudahnya satu kegagalan menghancurkan seisi rumah tangga.

Suatu sore, saat ia sedang membersihkan jendela di sebuah ruko, ia melihat sebuah mobil berhenti tak jauh darinya. Dari dalam mobil, turunlah Sari, menggandeng Raihan yang kini tampak lebih tinggi. Raihan tertawa riang, memegang sebuah mobil-mobilan baru. Mereka terlihat bahagia. Terlalu bahagia. 

Dada Bram terasa sesak, sakit yang tak terlukiskan. Ia cepat-cepat membuang muka,bersembunyi di balik tiang ruko, takut terlihat. Ia tak ingin Raihan melihatnya dalam keadaan seperti ini. Pipi kurus dan tirus, pakaian kumal, dan mata yang menyimpan ribuan luka.

"Papa, itu!"

Tiba-tiba, suara Raihan melengking, menunjuk ke arahnya.
Bram terpaku. Ia tak tahu Raihan bisa mengenalinya, padahal ia sudah menunduk. Jantungnya bergemuruh.

Sari menoleh, matanya bertemu dengan mata Bram. Wajahnya sontak berubah, dari raut ceria menjadi terkejut, lalu... samar-samar terlihat sebuah ekspresi penyesalan yang melintas cepat. Namun, ia segera menarik Raihan menjauh.

"Bukan Papa, Nak. Ayo kita pulang," ucap Sari, suaranya sedikit tegang.

Raihan meronta, "Tapi itu Papa, Ma! Papa!"

Bram hanya bisa membeku di tempatnya, melihat Raihan yang terus menunjuk ke arahnya, tetapi ditarik paksa oleh Sari masuk ke dalam mobil. Mobil itu melaju, menghilang di tikungan jalan. 

Air mata Bram tumpah ruah, tak tertahankan lagi. Ia merosot, bersandar pada tembok ruko yang dingin. Tangisannya pilu, memilukan, seperti seruan jiwa yang terluka parah. Bukan hanya karena kehilangan keluarga, bukan hanya karena kemiskinan, bukan hanya karena harga diri yang hancur, tetapi karena melihat putra yang ia cintai memanggilnya. 

Namun, ia tak berani menyambut, karena ia melihat kebahagiaan mereka tanpa dirinya. Ia menyadari, dirinya hanyalah bayangan, seorang pecundang yang bahkan tak pantas lagi disebut ayah di mata putranya sendiri. Ia terisak, mencengkeram dadanya yang nyeri. 

Angin sore berhembus, menambah dinginnya suasana. Dalam kesendiriannya, Bram merenungi betapa kejamnya hidup. Satu kegagalan, satu titik hitam dalam CV-nya, ternyata mampu menghapus jejak seluruh ke hidupannya yang pernah ia bangun dengan susah payah. Ia hanya ingin tidur. Tidur, dan tak perlu merasakan sakit ini lagi. Tidak pernah lagi.

No comments: